Sejak
pertengahan ‘90-an, di Kota Bandung memang bermunculan beberapa
komunitas yang menjadi produsen sekaligus pelanggan tetap beberapa toko
kecil - sebutlah distro - yang menjual barang-barang yang tidak ditemui
di kebanyakan toko, shooping mall, dan factory outlet yang kini juga
tengah menjamur di Kota Bandung. Distro sendiri artinya distribution outlet.Berbekal modal seadanya, ditambah
dengan hubungan pertemanan dan sedikit kemampuan untuk membuat dan
memasarkan produk sendiri, kemunculan toko-toko semacam ini kemudian
tidak hanya menandai perkembangan scene anak muda di Kota Bandung,
tetapi juga kota-kota lain semisal Jakarta, Yogyakarta, Surabaya.
Perkembangan
ini dimulai di sebuah studio musik, Reverse di daerah Sukasenang. Pada
perkembangannya dapat dikatakan sebagai cikal bakal yang penting bagi
perkembangan komunitas anak muda di Kota Bandung pada awal era ‘90-an.
Di awal kemunculannya pada sekitar tahun ‘94, semula Richard, Helvi, dan
Dxxxt (3 orang pendiri pertama dari Reverse), hanya memasarkan
produk-produk spesifik yang terutama diminati oleh komunitas penggemar
musik rock dan skateboard.
Komunitas
ini kemudian merupakan simpul pertama bagi perkembangan komunitas
ataupun kelompok subkultur anak muda pada saat itu. Ketika semakin
berkembang, Reverse kemudian menjadi sebuah distro yang mulai menjual
CD, kaset, poster, artwork, asesoris, termasuk barang-barang impor
maupun barang buatan lokal lainnya.Kemudian bermunculan sederet
komunitas baru yang lebih spesifik lagi. Dari yang semula hanya
didatangi oleh penggemar musik rock dan komunitas skateboard, Reverse
mulai didatangi oleh beberapa kelompok yang berasal dari scene yang
lain.
Dari
yang meminati musik pop, metal, punk, hardcore, sampai pada kelompok
skater, bmx, surf dan lain sebagainya. Belakangan, nama Reverse
bermutasi menjadi Reverse Clothing Company, yang sekarang ini dikelola
oleh Dxxxt. Menurut Richard, selain karena musik rock dan skateboard,
saat itu kemunculan beragam komunitas semacam ini juga didorong oleh
keberadaan beberapa film seperti The Warrior (Walter Hill/1979), BMX
Bandit (Brian Trenchard-Smith/1983),Thrashin (David Winters/1986),
Gleaming The Cube (Graeme Clifford/1989), dan film-film sejenis yang
bercerita mengenai berbagai macam komunitas anak muda di Barat (Eropa
Barat & Amerika).(3)
Dari
kondisi yang spesifik semacam inilah, dinamika perkembangan industri
musik, termasuk perkembangan fashion anak muda di Bandung selalu menemui
banyak pembaharuan. Dari mulai jaman celana jeans di Jalan Cihampelas,
tas ransel Jayagiri, jaman kaos oblong C-59, clothing lokal, band-band
underground, distro, dan seterusnya sampai sekarang.
Saat
krisis ekonomi terjadi pada tahun 1998, bisnis yang dijalani Reverse,
mengalami masa sulit sampai akhirnya tutup. Mereka tak mampu lagi
membeli barang-barang dari luar negeri kerena nilai dolar terhadap
rupiah melambung tinggi dan tak terjangkau. Namun kondisi sulit ini
justru melahirkan fase baru dalam perkembangan industri clothing
Bandung. Helvi vetaran Reverse, kemudian membangun clothing label
bernama Airplane yang memulai usahanya pada tahun 1997.
Bukan
hanya itu, bersama Dxxxt dan Marin, Helvi membangun record label
bernama Fast Foward pada tahun 1999.Airplane yang didirikannya bersama
dua rekannya yang lain: Fiki dan Colay, resmi berdiri pada tanggal 8
Februari 1998. Kurangnya modal untuk membeli barang-barang dari luar,
membuat daya kreatifitas kedua pemuda ini diasah. Ketika itu mereka
berpikir, untuk dapat menghasilkan kaos sesuai dengan keinginan mereka.
Ide-ide
membuat desain dipengaruhi oleh kehidupan sehari-hari yang kita senangi
aja.. biasanya dari skateboard, musik, dan lain sebaginya. Transformasi
Reverse sebagai clothing company, dimotori oleh Dxxxt pada bulan
Februari 2004. Didukung oleh Marin, Wendi Suherman dan Indra Gatot
sebagai mitra usahanya. Reverse kemudian menjelma menjadi label yang
memfokuskan dirinya pada fashion untuk pria. Urban Culture yang menjadi keseharian tim kreatifnya, menjadi inspirasi dalam desain produk-produk Reverse.
Sementara
kegemaran skateboard, bmx dan surfing yang ditekuni Dandhy dan
teman-temannya, justru memotivasi mereka untuk membuat produk-produk
yang mendukung hobi yang mereka cintai. Bukan hal yang mudah untuk
menemukan fashion penunjang kegiatan surfing di Bandung pada saat itu.
Maka tahun 1996, dari rumah di dago 347 Bandung, mereka mulai
memproduksi barang-barang yang menunjang hobi mereka untuk digunakan
sendiri. Ternyata apa yang mereka pakai, menarik perhatian teman-teman
mereka.
Seperti
halnya Airplane, dengan modal patungan seadanya mereka mulai
memproduksi barang-barang yang mereka desain untuk kebutuhan hobi mereka
itu, untuk dijual di kalangan teman-teman mereka sendiri dengan label
‘347 boardrider co.’ Toko pertamanya dibuka pada tahun 1999 dan diberi
nama ‘347 Shophouse’ di Jalan Trunojoyo Bandung. Demikian pula Ouval
yang muncul di tahun 1998.
Awalnya
juga dibentuk dengan semangat untuk mengelaborasi hobi skateboard para
pendirinya. Hobi dan semangat kolektivisme terasa sangat kuat mewarnai
kemunculan clothing label dan clothing store pada masa itu. Masih di
tahun 1996, Dadan Ketu bersama delapan orang temannya yang lain
membentuk sebuah kolektif yang diberi nama Riotic. Kesamaan minat akan
ideologi punk, menyatukan ia dan teman-temannya. Riotic menjadi label
kolektif yang memproduksi sendiri rilisan musik-musik yang dimainkan
oleh komunitas mereka, menerbitkan zines, dan membuka sebuah toko kecil
yang menjadi distribusi outlet produk kolektif yang mereka hasilkan.
Riotic juga dikenal konsisten dalam mendukung pertunjukan-pertunjukan
musik punk rock dan underground yang saat itu kerap diselenggarakan di
Gelora Saparua Bandung.
Dalam
perkembangannya, eksplorasi desain clothing anak-anak muda Bandung,
banyak juga dipengaruhi oleh gaya street fashion Jepang yang berbau harajuku terasa
lebih eklektik dan eksperimental. Pergeseran kiblat kreatif global dari
Amerika ke Inggris/Eropa dalam tiga tahun terakhir ini, juga terasa
pengaruhnya. Perubahannya sangat jelas terasa dalam scene musik. Street
culture Inggris dan Eropa kemudian menjadi sumber rujukan baru dalam
mengelaborasi desain produk-produk clothing kemudian.
Perkembangan
musik dan juga street fashion di Bandung mendorong pertumbuhan clothing
store (distro) di Bandung. Untuk membesarkan bisnis yang semula
dibangun berdasarkan hobi, butuh kedisiplinan tinggi dalam mengelolanya.
Bagi clothing company yang muncul belakangan, idealisme dan
keterbatasan modal menjadi tantangan yang harus disiasati lebih keras
lagi. Karena secara bisnis, mereka harus berhadapan dengan clothing
teman-temannya yang muncul dan mapan lebih dulu.
Dari
segi pengembangan desain, tidak banyak juga yang melakukan riset dan
pengembangan desain secara serius. Akibat dari boom clothing di tahun
2003, follower yang muncul belakangan, banyak yang asal jiplak
desain-desain yang sudah ada. Karena untuk membangun sebuah karakter
desain yang kuat dibutuhkan waktu dan proses yang lama.
Kini,
wabah distro telah menjamur hampir ke seluruh Indonesia, tidak hanya di
Bandung. Jakarta sebagai kota metropolitan juga mulai “kejangkit” wabah
distro. Walau banyak distro-distro yang mulai bermunculan di Jakarta,
tetapi beberapa di antaranya masih berisikan barang-barang dari distro
Bandung yang sudah lebih dulu punya nama. Walau ada beberapa distro di
Jakarta yang sudah punya nama sepertii Bloop dan Endorse menjual
barangnya sendiri disamping barang-barang dari distro Bandung.
Sampai sejauh mana industri ini mampu bertahan, hanya mereka dengan kreatifitas dan disiplin yang tinggi yang mampu menjawabnya sampai alhamdulillah sukses.
source http://bisnisukm.com/kota-bandung-menjadi-gudangnya-para-pebisnis-kreatif.html
http://jurnalhollic.multiply.com/journal/item/1/SEJARAH-DISTRO?&item_id=1&view:replies=reverse
source http://bisnisukm.com/kota-bandung-menjadi-gudangnya-para-pebisnis-kreatif.html
http://jurnalhollic.multiply.com/journal/item/1/SEJARAH-DISTRO?&item_id=1&view:replies=reverse
Tidak ada komentar:
Posting Komentar